Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Menurut Konvensi Hukum Laut yang
baru, yang dimaksud dengan ZEE adalah: “The exlusive Economic Zone is a
are a beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific
legal rezim established in this part under which the rights and
jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of other States
are governed by the relevant provisions of this Convention”.
Maksudnya adalah ZEE adalah
jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang tunduk kepada rezim hukum khusus
sebagaimana yang ditetapkan pada bagian ini yang meliputi hak-hak dan
yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan dari pada
Negara-negara lain yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini.
Sejarah Perkembangan Hukum ZEE 200 Mil
Pada tanggal 28 September 1945
Presiden Amerika Seriakt “Harry S. Truman” telah mengeluarkan suatu proklamasi
No. 2667, ‘Policy of the United States with respect to the Natural Resources of
the Subsoil and Seabed of the Continental Shelf”.
Dengan proklamasi Presiden
Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum Laut yakni
pengertian geologi “continental shelf” atau daratan kontinen. Tindakan
Presiden Amerika serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar
laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk
kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral
khususnya minyak dan gas bumi. Hal tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi
tersebut yang pada pokoknya adalah : Sudah selayaknya tindakan demikian diambil
oleh negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai
kelanjutan alamiah daripada wilayah daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha
untuk mengelola kekayaan alam yang terdapat didalamnya memerlukan kerjasama dan
perlindungan dari pantai. Dengan demikian maka demi keamanan penguasaaan sumber
daya alam yang terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan
untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang
bersangkutan”.
Tindakan sepihak Amerika Serikat
mengenai landas Kontinen dan perikanan sebagaimana disebutkan di atas,
berpengaruh terhadap perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini
terbukti bahwa negara-negara Amerika Latin dalam mengajukan tuntutan mereka
telah mengemukakan beberapa argumentasi yang bertujuan untuk melindungi
sumber-sumber kekayaan alam yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil,
termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya. Argentina mengajukan teori “Epi Continental
Sea”, kemudian Ekuador, Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang
selanjutnya diikuti oleh negara-negara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko
(1946), Honduras (1950), Costa Rica (1950), El Salvador (1950).
Sebagai tindak lanjut dari
tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada tahun 1952 lahirlah suatu
deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang ditandatangani oleh
Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai motivasi utama tuntutan ketiga
Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan jurisdiksi ekslusif
terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun non hayati) yang
terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber mana sangat
bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di negara-negara peserta deklarasi
tersebut.
Selanjutnya Winston C.E.
menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200 mil itu hak-hak lintas damai
(innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana
mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut
ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS
II tahun 1960 di Jenewa, terutama bertujuan untuk menetapkan lebar laut
wilayah, namun usaha PBB tersebut ternyata gagal. Kegagalan ini mengakibatkan
meluasnya praktek Negara-negara dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang
berbatasan dengan pantainya. Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini
berkembang (meluas) sekitar tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi
200 mil dan tidak terbatas hanya pada Negara-negara Amerika Latin saja,
melainkan juga meluas sampai pada negara-negara asia dan Afrika.
Menurut Winston C.E., walaupun
Negara-negara seperti Benin, Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera
Leone dan Somalia tetap mengklaim jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut
wilayah, negara-negara seperti: Argentina, Bangladesh, Chili, Costa Rica,
El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland, Meksiko, Nicaragua, Uruguay
dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang sejalan dan selaras
dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara peserta deklarasi
Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan dalam studi ini
bahwa dalam perkembangannya, delegasi Kenya secara resmi telah mengajukan
usul draft article yang mengatur tentang ZEE dalam persidangan Seabed
Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan dalam List of Subjects
and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.
Ternyata diantara
negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut mempunyai
pendapat-pendapat yang berbeda tentang apa yang telah dideklarasikan
sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit diantara
negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih
mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu. Perdebatan
dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezim hukum spesifik.
Dalam hal ini
negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris,
Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus
merupakan laut bebas dengan ketentuan bahwa :
a. Negara-negara
pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.
b. Kebebasan
lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan militer, tetap
terjamin bagi semua bangsa.
Sedangkan Negara-negara pantai
terutama negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap
mempertahankan pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris
yang memiliki rezim khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negaranya.
Dengan demikian negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 tersebut
tetap
menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui beberapa kebebasan dilaut lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas.
menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui beberapa kebebasan dilaut lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas.
Menurut Hasjim Djalal dalam
bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang Hukum Laut”. Meyatakan bahwa,
negara-negara tak berpantai (landlocked States) dan negar-negara secara
geografis tidak beruntung (geographically disadvantaged States) menuntut hak-hak
yang sama dengan negara-negara pantai, tidak saja dibidang perikanan
tetapi juga terhadap sumber-sumber kekayaan laut lainnya di dasar laut.
Namun negara-negara pantai
hanya bersedia memberikan surplus perikanan yang tidak dapat diambil oleh
negara-negara pantai, dalam hal ini negara-negara yang tergolong landlocked dan
geographically disanvantage yang mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip
“common heritage of mankind” yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara
pantai untuk mengambil kekayaan alam di ZEE tersebut. Sebagai ilustrasi
disini, negara-negara tak berpantai dan secara geografis tidak beruntung
misalnya Singapura, Nepal, dan Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk
dalam ketegori “distant”. Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan hukum
pada akhirnya perbedaan dan pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu,
dengan jalan perundingan dan mufakat kemudian dapat dipertemukan, sehingga
perjuangan mengenai rezim hukum ZEE 200 mil akhirnya dapat dirumuskan, kepentingan
semua pihak dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE 200 mil dengan
demikian tidak dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak pula sebagai laut
wilayah, namun sebagai suatu rezim sul generis, yang diartikan ZEE mempunyai
ketentuan hukum sendiri.
Kemudian setelah mengalami
amandemen-amandemen dalam Informal Single Negotiating Text (INST)
dan Revised Singel Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan mengenai
ZEE 200 mil dimuat dalam pasal 55-75 Bab V Informal Composite Negotiating Text.
(ICNT).
Menlu RI Mochtar
Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai Pengumuman Pemerintah tentang ZEE
Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, telah menegaskan bahwa walaupun
ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam bab V ICNT ini belum berhasil diresmikan
menjadi suatu konvensi Hukum Laut Internasional, dengan makin banyaknya
negara-negara yang mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim itu melalui proses
pembentukan hukum kebiasaan internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut
Internasional yang baru, Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di
Montego Bay, Jamaika tanggal 10 Desember 1982.
Penentuan Batas
ZEE
Salah satu masalah yang cukup
rumit untuk diselesaikan adalah penentuan batas ZEE dengan negara-negara
tetangga. Meskipun negara-negara tetangga menganut prinsip penarikan
batas yang sama tentang rezim ZEE, namun dalam masalah penetapan batas ini
masih belum ada kesepakatan, Komperensi Hukum Laut PBB telah berhasil mencapai
kesepakatan dalam merumuskan penetapan batas ZEE ini, khususnya mengenai penentuan
batas ZEE yang menyangkut kepentingan dua negara atau lebih baik yang letaknya
berdampingan maupun yang berhadapan (opposite or adjacent coastals) harus
dilakukan secara damai menurut Hukum Internasional yang berlaku umum dan
khususnya tidak bertantangan dengan ketentuanketentuan Piagam PBB. Akan tetapi
bagi Indonesia, batas ZEE 200 mil laut dengan negara-negara tetangga dimaksud
tetap harus ditentukan berdasarkan pada “asas sama jauh” (equidistant
principle) dengan memperhitungkan keadaan-keadaan khusus (special
circumstances).
Selain itu Indonesia
berpendirian bahwa batas ZEE tersebut tidak perlu identik dengan batas landas
kontinen, karena patokan-patokan yang dipakai, factor-faktor yang
mempengaruhinya pun berbeda. Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE
Negara-negara yang pantainya saling berhadapan ataupun ataupun berdampingan
(opposite or adjacent coastal) dengan pantai
Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dengan Negara-negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan Negara yang bersangkutan. Selama persetujuan sebagaimana dimaksud di atas belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas ZEE antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak (middle line or equidistant) antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang peraturan sementara yang berkaitan dengan batas ZEE termaksud.
Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dengan Negara-negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan Negara yang bersangkutan. Selama persetujuan sebagaimana dimaksud di atas belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas ZEE antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak (middle line or equidistant) antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang peraturan sementara yang berkaitan dengan batas ZEE termaksud.
Dari ketentuan-ketentuan di
atas, dapat diketahui bahwa pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama
jarak (equidistant) digunakan untuk menetapkan batas ZEE antara Indonesia
dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadaan-keadaan khusus (special
circumstances) yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan
nasional. Keadaan khusus tersebut adalah misalnya terdapatnya suatu pulau
dari negara lain yang terletak dalam jarak kurang dari 200 (dua ratus)
mil laut dari garis pangkal untuk menetapkan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar